Friday, June 20, 2014

Cerpen : Unchanged

Genre : Remaja, romatic, perselisihan remaja, drama
Author : Irma Herawati

Unchanged

            Dari kejauhan aku melihat Hani sahabatku, berlari kearahku dan memanggil namaku. Aku menghentikan langkah dan menunggunya hingga tiba di tempatku berada. “ Sa, lo tau enggak ?” dia berhenti tepat di depanku nafasnya masih belum diatur tapi, ia memaksakan untuk berkata sesuatu.
Aku mencoba meminta dia untuk mengatur nafas agar lebih tenang. Walaupun masih ngos- ngosan dia ingin segera memberitahukan hal penting tersebut, menurutnya. “ Tahu enggak Sa? kalo Karin barusan ditembak sama cowok di depan Aula “.
“ Eumh, bagus lah kalo gitu “. Karin, sebuah nama yang indah. Dia juga sahabatku, ngakunya. Kita bertiga selalu jalan, nongkrong bareng, jurhat bahkan kita selalu blak- blakan tentang rahasia yang enggak kami ceritakan ke orang tua.
Hani, dia mengejutkanku “ Tapi, cowoknya itu Tama, lo masih bilang kalo itu merupakan kabar bagus ?”. Aku terdiam memikirkan dalam- dalam apa yang akan terjadi selanjutnya, “ Lo sih terlalu akhir berangkatnya, jadi lo enggak bisa melihat peristiwa yang sangat mengharukan itu “ lanjutnya.
Wajahku merah padam setelah mengetahui apa peristiwa menarik yang terjadi pagi ini. Iya aku cemburu, ada sedikit rasa marah, kecewa, menyesal, dan putus asa semuanya bercampur jadi satu.
Aku berusaha sabar, melenyapkan segala perasaan yang mengapi- api dalam hati. “ Lalu, cintanya Tama diterima sama Karin ?” masih mencoba berekspresi bahagia.
Dengan pelan, Hani mengangguk. “ Siapa juga yang enggak lumer kalo dinyanyiin lagu ‘ when I was your man’ pake gitar, apalagi Tamanya juga popular di sekolahan ini. Pasti enggak nyesel kalo bisa pacaran sama dia, bangga karena dapat pacar seorang anak konglomerat, bisa ngangkat popularitas dan prestige nya sekaligus “.
Mataku tiba- tiba terasa perih aku tidak menginginkan ini terjadi. Air mataku menetes butir demi butir, tak bisa ku bending lagi dengan memejamkan mata. “ Bener lo Han ? “ ucapan terakhirku sebelum pergi meninggalannya.
Susah, bahkan sangat susah untuk menjadi pengagum rahasia. Setiap hari aku hanya bisa memandang, tidak bisa menyentuh, tapi aku mencintai bahkan mungkin cintaku bukan hanya sekedar untuk Tama dengan segala sifat pengerannya, Aku mencintainya dengan apa adanya dia, bukan dengan dia yang ada segalanya.
Aku mencuci muka di washbasin yang diletakkan di toilet sekolahanku. Tiba- tiba ada seseorang yang mengulurkan satu box tissue, aku berharap itu adalah seorang cowok ganteng yang diam- diam mencintaiku dan sekarang dia muncul karena melihatku bersedih.
Ternyata itu hanya ada di sinetron malam yang romantis. “ Lo enggak papa kan ?” dengan lembut, Hani bertanya kepadaku seakan dia khawatir. Aku menggeleng pelan.
Hani memang begitu, terbuka, jujur apa adanya, cuek, perhatian, dan baik. Dia memelukku dengan hangat, aku bisa merasakan kasih sayang seorang sahabat yang sesungguhnya dari dia.
 “ Lo kenapa ? Lagian lo sendiri kan yang nyuruh gue buat merahasiakan perasaan lo itu, harusnya lo bisa terus terang “
“ Tapi gue malu kalo harus ngomong apa adanya tentang perasaan gue ke Tama. Emangnya boleh seorang cewek ngomong perasaannya ke cowok ?” aku protes ke Hani tentang ucapannya yang baru beberapa detik yang lalu masih menggema di telingaku.
“ Boleh, Tama kan salah satu cowok yang lumayan oke di sekolahan ini, pasti banyak yang suka sama dia. Nah, salah satu cara yang dipake cewek agar perasaannya tersampaikan adalah dengan mengungkapkannya langsung “ dia mulai ceramah.
Hani itu orang yang tipe bicaranya panjang, tapi tidak cerewet dan gaya bicaranya pun tidak ceplas- ceplos. Dia selalu memfilter dulu apa yang ada di pikirannya sebelum di ungkapkan lewat kata- kata. Seorang yang bijak dan penuh pertimbangan. Mungkin, Hani cocok untuk menjadi polisi bagian penyelidikan.
“ Iya gue tau, yaudah lah. Yuk kita pulang !” ajakku.
Aku dan Hani segera menuju parkiran. Baru aja mau buka pintu mobil, Karin memanggil kami dari kejauhan. Suaranya khas, jadi aku sangat mudah untuk menghafalnya dan memang sudah tidak asing lagi ditelinga.
“ Friends, sorry ya gue enggak bisa pulang bareng kalian. Lain kali aja yaaa “ dia berbicara sambil senyum manis, dan menggandeng Tama yang sekarang menjadi pacarnya. Lidahku kelu, enggak bisa mengungkapkan. Aku kaget lihat mereka, cowok yang aku cintai jalan sama sahabat aku sendiri, rasanya itu asem- asem gimana gitu.
“ Yaudah sana kalo mau pulang, atau malah sekalian jalan sama Tama, sekalian aja sana kalian di lem biar lengket, enggak bisa dipisahin. Lagian gue juga enggak ajak lo biar pulang bareng kok. Sok penting banget sih lo! “ ucapku dari hati dan masih tertahan di tenggorokan.
Di sana aku melihat ekspresi Hani yang datar sepertinya dia tidak memikirkan arti dari ucapan Karin barusan. Tapi dia sekarang tidak berlidah kelu, dia memilih kata- kata yang nusuk tapi diucapkan dengan gaya bahasanya yang santai “ Oke sana pulang! Kan kita juga bisa pulang tanpa elo. Hati- hati dijalan ya “ dia memang seperti itu.
“ Oh ya Tama, kenalin ini teman- taman aku. Yang rambutnya panjang namanya Hani dan yang rambutnya pendek namanya Risa “ dengan gaya bicaranya yang centil, dia memperkenalkan kami.
“ Haedehh, masih aja disitu. Cepet pulang! Gue sebah lihat kalian “ ucapku masih dalam hati.
Hani menyambut uluran tangan Tama sambil senyum, memperlihatkan gigi rapi berbehel. Sedangkan aku, menyambut uluran tangannya dengan ogah- oghan. Aku memang cinta sama Tama, tapi aku enggak mau menampilkan cintaku ini secara berlebihan.
Sebenarnya kalo aku punya sedikit kesialan untuk hari ini, aku pengen disela- sela jabat tanganku ini ada seseorang yang ndorong aku dari belakang sehingga tanpa direncanakan aku dipeluk sama Tama. Tapi itu enggak mungkin.
“ Udah yuk Beib, kita pulang “ Karin mengajak pacarnya, Tama untuk pulang. Tanpa berlama- lama berdiri di parkiran, kita langsung cabut dari tempat itu secepatnya. Aku pulang seperti biasa, naik mobil tebengan dari Hani. Aku rasa dia tidak keberatan aku tumpangi, karena kalo pulang sekolah, dia melewati depan rumahku.
Aku pulang dengan muka cemberut, seharusnya hari ini aku bahagia karena nilai matematikaku itu terbaik. Eits, jangan salah dulu aku mendapatkan nilai terbaik matematika bukan sekelas tapi dalam perjalanan menuntut ilmu selama SMA ini, aku baru pertama kali mendapatkan nilai ulangan sebagus ini 9,6. Itu adalah hasil terbaik aku selama SMA, entah kenapa aku berfikir kalo pelajaran SMA jauh lebih sulit dibandingkan pelajaran SMP dan SD bahkan TK. Bener itu, jangan ragukan pemikiranku.
Aku dan Hani selama perjalanan tidak berkomuniasi, mugkin dia tahu kalo suasna hatiku sedang kalut, sehingga tidak memungkinkan untuk diajak bicara. “ Sa, udah sampe dirumah lo. Inget, jangan nangis terus. Nanti malam langsung tidur, jangan melek mikir yang macem- macem!” dia mulai berceramah lagi.
“ Oke, siap deh “ aku mengacungkan jempol.
Aku melihat dia meluncur manjauh dari hadapanku. Sekarang aku merasakan hampa, tak ada teman, aku melihat laptop seakan melambaikan tangan untuk mengajakku bermain. Sejurus kemudian, aku berhasil membuka halaman facebook.
Akhirnya, ada orang yang chat aku. “ Hey, gimana kabar?” tanyanya. Aku pun kaget, ternyata dia orang tanpa nama, masalahnya nama facebooknya itu “ aku disini selalu bersamamu dan akan selalu bersamamu selamanya “ namanya alay, masih dibuat alay lewat tulisannya. Nama aja enggak jelas, apa lagi jenis kelaminnya.
“ Ni siapa ya ?” dengan tulisan yang wajar aku menjawab. “ ini gue Jeremy, teman SD elo “ jawabnya sedetik kemudian.
“ Oalah, makannya nama itu yang jelas dong !” aku menyindirnya.
“ Ya sori w engga tau, oiya apa kabarnya nie ?”
“ Baik, lo sendiri ??? “
“ Baik aja, “
“ Gue denger- denger skrg lo ikut bokap pergi ke Singapura yaa, enak dong “ ucapku mengatakan yang sebenarnya dari apa yang aku dengar dari teman- teman SD ku dulu.
“ Siapa bilang ke Singapura, gue aja Cuma ke Paris kok “
“ Hahhh? Paris, OMG seriusan?”
“ Maksudnya ke Paris Van Java. Xixixi “
“ ... “
Begitulah, percakapan kami berlangsung sangat seru. Aku sangat menikmatinya, bahkan peristiwa tadi sore yang sangat menyakitkan hati pun bisa terlupakan. Percakapan di Facebook ternyata hanya awal dari sebuah cerita indah, dia minta nomor telephoneku.
Setelah beberapa hari, “ Sa, lo mau enggak jadi pacar gue ?” tanya nya tiba- tiba saat kami sedang berbincang di telefon. “ sorry, bukannya gue nolak. Tapi, emang gue belom boleh pacaran “ jawabku, tanpa membuatnya menunggu.
“ Gue juga belum boleh pacaran sih sebenarnya, tapi apa salahnya sih kita backstreet? “ walaupun aku sudah menolak, sepertinya dia tetap memintaku. “ Gue enggak cinta sama lo, dan gue yakin kalo dihati lo itu bukan gue “, aku memberikan alasan yang sebenarnya.
“ Kan cinta bisa datang karena terbiasa, coba jalanin dulu deh  Sejujurnya, gue udah cinta sama lo itu sejak SD kelas 3 Ris. Gue lega kalo udah ngungkapin ini “ dia berhenti bicara.
“ Trus ?” hening suara di sebrang.
“ Yaudah, kita temenan aja kalo bisa sahabatan “ ucapnya seketika, menghancurkan segala sepi antara percakapan kami.
Aku tersenyum, tidak merasa bersalah sama sekali. Mungkin hatiku yang terlalu beku enggak bisa merasakan apa yang dirasakan Jeremy, “ Nah gitu dong, kan kalo sahabatan malah enak, tapi apa salahnya sih mencoba TTM-an “ Ucapku dengan senyuman.
Setelah itu kita melanjutkan hubungan seperti biasanya. Setiap hari telfon-an, SMS-an, Chating-an, Facebook-an, dll-an. Ya pokoknya, hubungan aku dan Jeremy makin deket deh.
Sampai pada saat istirahat, Aku, Hani dan Karin nongkrong di kantin. Aku memulai percakapan dengan topik yang lumayan menarik menurutku. “ Friends, gue deket lagi sama teman SD dulu “ kataku dengan antusias.
“ Trus apa masalahnya buat kita?” Karin merespon dengan sinis. Berbeda dengan Hani, ia menyambut dengan antusias “ Pasti seru ya, kumpul lagi sama temen- temen SD. Gue jadi pengen “ Ia lalu mendongak ke atas sambil senyum.
Dengan antusias, aku mencoba menjelaskan tentang Jeremy“ Bukan temen SD semua, tapi Cuma satu. Gue dulu musuh bebuyutan sama dia, eh sekarang dianya malah deketin gue lagi. Yaampun, gue enggak bisa bayangin gimana wajahnya saat ini pasti ganteng, kan kecilnya aja udah cakep “ Aku cerita tanpa memikirkan apakah dua orang itu mendengarkan apa enggak.
Respon Hani biasa saja, sedangkan Karin berubah antusias. “ Eh, lo kenal dari mana ?” tanyanya sambil senyum. Sebenarnya aku malas menjawab, “ Ya gue kenal di SD dulu lah, kalo deket sekarang, lewat facebook “ jawabku terus terang.
Karin tambah cengar cengir, “ Nama facebook nya apa ?” tanyanya lagi. “ A-Q-U-E  D-S-N-I  S-L-L-U-E… “ aku mengeja hurufnya, Karin memotongnya. Menyuruhku untuk mengulang ejaanya, tapi aku tidak mau. “ Oke, gue kasih tau ‘ aku disini selalu bersamamu dan akan selalu bersamamu selamanya’ udah puas ?”.
Hani menyindir Karin “ Giliran denger ada cowok aja lo langsung semangat “ masih dengan gaya datarnya dan sifat terus- terangnya.
“ Owh, jadi lo enggak suka !? “ bentaknya kepada Hani.
Hani cuek, melanjutkan minum air putih yang dibawanya dari rumah, “ denger ya Han, gue itu cuma … “ dia berfikir untuk melanjutkan kalimat itu, lama sekali. Aku menyahut “ Cuma pengen kenal cowok baru, biar yang lama ditunggalin? “ aku enggak tau, kenapa aku tidak bisa menahan kata- kata itu.
“ Kok elo jadi ikut- ikutan sih Sa ?” tanyanya dengan muka makin merah,
Nyaliku bertambah, “ Kok enggak dilanjutin ngomongnya? Pasti yang Risa bilang itu bener kan?” Hani membelaku, sedangkan aku mencoba meredakan amarah.
“ Memangnya gue disini enggak boleh ikut- ikutan ya, aduh sorry ya. Maaf, gue kira gue boleh ikut- ikutan “ Aku mencoba menaikkan nyakiku semakin besar, seperti yang dilakukan Hani.
“ Ohh, lo makin berani ya !!” dia sepertinya menantangku. “ Apa ?!!!” aku makin emosi dan menerima tentangannya. Sebelum akhirnya, Hani memisahkan kami berdua. “ Udah dong. UDAHH !!” bentaknya. Tapi naasnya, guru BK segera mendengar keributan dan membawa kami ke ruangannya.
Setelah sampai di ruang guru BK, dia mengintrogasi kami bertiga. Sebenarnya, aku terpancing itu dari keberaniannya Hani, entah kenapa aku akhir- akhir ini sedang ngefans sama dia. Kagum dengan keberaniannya yang sanggup berterus terang kepada orang lain.
“ Stephanie Ridian, Sekar Karina, Sharis Alisya “ guru itu menunjuk kami satu persatu. ” Kenapa kalian ribut ? Kantin itu tempat makan, bukan tempat ribut. Kalo ribut di lapangan sana !”
Jujur aku merasa bersalah, “ Ya maaf Bu “ aku menunduk. Tapi Karin masih cari masalah, “ Ya Risanya duluan bu “ dia masih saja njalahin aku. Guru BK itu mempertegas suaranya “ Sudah hentikan, kalian akan saya hukum “ ucapnya.
“ Tapi jangan menghukum dengan hal yang konyol lho bu misalnya, membersihkan WC, lari keliling lapangan, dan horm… “ Bu Guru motong ucapan Hani.
Wajah Bu Guru jadi ramah, “ Bukan membersihkan WC, tapi membuat kreasi seni yang berhubungan dengan sekolah. Contohnya, lukisan, karikatur wajah guru, dan kalian bisa cari referensi sendiri. Ingat, ini harus buatan kalian sendiri! “ beliau menjelaskan tentang hukuman yang harus kami lakukan, membuat kreasi seni.
“ Waktunya satu minggu, kalian bisa mengumpulkannnya ke saya “ lanjutnya. Setelah itu kita diperbolehkan keluar dari ruang guru BK itu, tempat mangkal siswa- siswa yang bermasalah.
Nasehat guru BP itu secara tidak sadar mampu membuat aku dan Karin baikan. Karin memulai ucapannya “ Friends, kalian mau bikin kreasi seni apa ?” tanyanya dengan lembut. Aku menjawab pasti, “ Lukisan tentang sekolah “. Hani menjawab dengan pertimbangan “ Mungkin gue bikin lagu tentang keindahan sekolah ini “ dia berbicara sambil mendongak ke atas.
Hani bertanya ke Karin, masih bertema hukuman itu. “ Gue sih pastinya puisi, enggak tau juga sih nanti kalo si Tama mau menambahkan ide “ jawabnya membuatku cemburu.
Kami di introgasi di ruang BK selama pelajaran terakhir. Sehingga saat kami sudah selesai di hujani beberpa pertanyaan itu saat jam pelajaran terakhirpun sudah berakhir. Senangnya tidak ikut pelajaran Bu Indie, guru fisika itu.
Karin hari ini kembali diantar pulang oleh laki- laki bermotor ninja merah, Tama. Jika seandainya yang jadi posisi Karin itu aku pasti aku tidak akan berbuat macam- macam dibelakanngnya. Dia itu beruntung mendapatkan laki- laki yang sempurna, seperti yang aku dambakan.
Aku masuk kedalam mobil dengan perasaan cemburu, dari dulu aku ingin sekali dibonceng sama Tama menggunakan motor Ninja merahnya. “ Han, sepertinya Karin beruntung banget bisa dapein Tama. Gue iri sama dia, dia bisa dapetin cowok yang sempurna itu “.
Hani lalu menggelengkan kepala, “ Lo enggak usah iri. Lo bisa dapetin yang lain, Sa “ dia mencoba menguatkan aku. “ Mungkin gue bisa dapetin yang lebih baik dari dia, tapi susah. Susah cari orang yang attitudenya baik, tajir, ganteng, perhatian dan pinter “.
“ Udah sampe rumah lo nie “ ucapnya mengalihkan pembicaraan.
Malam harinya aku tidur dengan perasaan gelisah, mungkin masih karena sifat iri tersebut. Jam waker berdering pukul 04.00, biasanya dering jam itu tidak terdengar olehku saat aku sedang tidur tapi khusus untuk hari ini, jam weker itu mampu membangunkan aku.
Aku mengambil telephone untuk mencoba menghubungi Hani. Semoga saja sahabatku yang rajin itu sudah bangun, aku ingin mencurahkan semua isi dihatiku.
“ Tut tut tuuuut “ sudah lebih dari 10 panggilan aku tujukan kepadanya, tapi semuanya enggak ada yang diangkat. Mungkin Hani belum bangun. Selanjutnya, aku pergi ke dapur entah untuk ngapain, hal yang pertama aku lakukan disana adalah buka kulkas lalu ditutup lagi.
Mataku menyorot ke sebuah cahaya kecil yang berasal dari atas meja makan. Sebelum aku mengangkat tetephon itu, aku memohon dalam hati agar yang menelfonku adalah Hani. Orang yang beberapa menit yang lalu aku telepon.
Aku mendesah, tanpa berucap setelah aku mengangkat panggilan itu. “ Sa, tau gak. Si Jeremy udah konfrim gue lhoo, trus gue juga udah chatingan sama dia, dan kayaknya dia juga suka deh sama gue “ Suara antusias Karin mengagetkanku, ia pamer segala yang berhubungan dengan Jeremy.
Terus apa masalahnya buat aku? Apakah dia sengaja memanas- manasi aku dengan menelfonku pagi- pagi terus bilang kalo dia dekat sama Jeremy. Oh gue tau, biar dia terkesan kalo semalaman mereka chatingan. Aku perlu gitu, mendapat kabar itu?
Please deh Karin, lo itu bukan apa- apanya Jeremy. Dia udah punya orang yang dia suka, dan lo gak mungkin dapetin Jeremy dengan merebut hatinya yang di kasih ke orang yang di sukainya.
Jeremy itu cowok setia, Karin!
“ Owh “ aku merespon tanpa semangat.

Sosok Karin sangat sulit untuk aku gambarkan, dia selalu peka dengan hal yang berbau cowok bahkan terlalu peka. Karin terlalu mencari perhatian tiap kali bertemu dengan cowok, selalu. 

No comments:

Post a Comment